mampir dan mengintip

Saturday, July 17, 2010

Confession of a closseted Diva.

WIKIPEDIA: A diva (English pronunciation: /ˈdiːvə/, Italian: [ˈdiːva]) is a celebrated female singer. The term is used to describe a woman of outstanding talent in the world of opera, and, by extension, in theatre, cinema and popular music. The meaning of diva is closely related to that of "prima donna".

Eksistensi. pengakuan. jati diri. Atribut wajib pergaulan para kaum urban kota metropolis. Gemerlap keriaan dan sorot lampu Jakarta sangat ampuh dalam membangunkan geliat sisi lain dari manusia, animal instinct within. Jakarta, hutan belantara abad dua satu, lebih liar dan berbahaya dari belantara sesungguhnya. Dimana musuh paling berbahaya terlihat sangat indah dan memiliki pesona yang memabukkan, datang sebagai seorang teman baik yang menawarkan kenyamanan hidup dan persahabatan yang sejati, memikat kita dengan keramahan yang sangat menggoda, sampai kita melihat sisi lain dari kelembutan dan keindahan itu, sebuah cangkang yang menyembunyikan rupa yang mengerikan: dualisme dan hipokrisi atas kepentingan pribadi.

Kita menjalani hari-hari dalam berbagai wadah sosial bernama lingkungan keluarga, sekolah, pertemanan dan masyarakat. Dari berbagai wadah tersebut, kita sering kali memerankan berbagai karakter yang berbeda dari satu ke yang lainnya. Ini wajar, karena setiap manusia memiliki sisi terdalam yang sangat tabu untuk diketahui oleh semua bagian kehidupan, karena tidak semuanya bisa menerima siapa kita dengan apa adanya. Maka dari itulah kita membangun berbagai peranan yang berbeda-beda.

Diva. Menurut keterangan Wikipedia di atas, sebuah julukan yang ditujukan kepada seseorang yang layak mendapat sorotan dan penghargaan dari berbagai jenis dunia hiburan: panggung opera, teater, perfilman dan juga musik. Untuk menjadi seorang Diva, dibutuhkan kecantikan dan pesona panggung tidak hanya dari tampilan luar, tapi juga dari dalam. Inner beauty, sebuah pancaran pesona yang natural dan memunculkan rasa kagum tanpa pretensi.

Seiring perjalanan waktu, arti dari kata Diva sepertinya mengalami perubahan yang lebih luas. Jaman sekarang julukan Diva bisa diberikan pada seseorang meskipun tidak terlibat dalam dunia hiburan, namun lebih ke penghargaan karakter, pesona, pembawaan diri dan juga penampilan yang terlihat seperti Diva, terlepas dari prestasi apa yang telah dia/mereka capai. Bahkan dalam sekup kecil lingkungan pergaulan pun, selalu ada satu atau dua yang berperan sebagai Diva, dan yang lainnya seolah hanya sebagai pengikut.

Sekarang kita kaitkan dengan perilaku hidup kaum urban dan hedonis Jakarta, dan juga peranannya di berbagai wadah lingkungan dimana dia berada. Bagi pribadi yang memiliki karakter Diva sejati (bukan berarti dia adalah seorang Diva sejati) dia akan mempertahankan orisinalitas kepribadiannya sebagai jati dirinya. Dia tidak akan berubah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Namun bagi seseorang yang memiliki pola pemikiran yang lebih luas, dia akan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum dia memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri di setiap lingkungan yang dia kunjungi. Nah... Bagi mereka yang tidak memiliki keberanian untuk tampil sebagai pribadi yang orisinal, dia lebih memilih untuk mengikuti aturan norma yang mengharuskan kita menjadi pribadi yang normal, nggak neko-neko, dan mengikuti apa yang disebut kewajaran sesuai dengan sudut pandang masyarakat kebanyakan. Mereka menjadi patuh, takut berbuat salah, dan berusaha untuk selalu menjadi orang yang baik. Yang padahal adalah mereka menjadi seseorang yang terlalu takut untuk meninggalkan zona amannya.

Dan sialnya, mayoritas masyarakat memilih untuk menjadi seseorang seperti yang barusan saya jabarkan: menjadi seseorang yang normal dan memenuhi ekspektasi lingkungan dan masyarakatnya. Mereka memilih untuk menekan hasrat-hasrat terpendam untuk bisa stand out dan mendapatkan pengakuan dari orang lain dan menjadi diva minimal bagi dirinya sendiri, hanya karena takut melawan arus dan melenceng dari norma masyarakat atau pun di cap sebagai orang aneh. Dan sebagai pelampiasan hasrat terpendamnya, diam-diam mereka mencari lingkungan yang asing bagi mereka untuk melepaskan gejolak animal instinct mereka dan mengekspresikan sisi lain dari dirinya.

Satu hal yang menjadi perhatian saya, sungguh disayangkan berapa banyak waktu yang terbuang, dan masa muda pun menguap dengan sia-sia tanpa produktifitas yang berarti hanya karena takut dan merasa terkekang oleh patokan pola mainstream masyarakat yang mengharuskan kita menjadi seperti mereka pada umumnya. Padahal, ketika kita sadar bahwa hidup hanya sekali dan terlalu disayangkan jika dihabiskan dengan memikirkan rasa khawatir, maka kita tidak akan pernah bisa berkarya dan menghasilkan sesuatu yang berarti.

Mungkin analogi, penjabaran dan ilustrasi di atas masih terlalu melebar kemana-mana untuk mencapai satu titik kesimpulan, tapi yang pasti yang saya ingin garis bawahi adalah, jangan takut untuk menjadi diri sendiri, dan melakukan apa yang ingin kita lakukan, menjadi sesuatu yang kita cita-citakan. Jadilah diva untuk diri sendiri. Buatlah sesuatu yang bisa membuat orang noticed dengan eksistensi kita. Keluarlah dari zona aman dan lakukan sesuatu yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. Karena hidup hanya sekali dan sangat singkat. Jangan dulu berkata sudah siap mati ketika kita belum melakukan atau menghasilkan sesuatu yang berarti.


With love,


your self.

*a note from me 4 years a go, to my self 4 years latter.*

Monday, July 5, 2010

the substance of achievement: process and patients.

I want to pump my pedal gas and speed up this trip to reach the destination of my life. Well, I wish I could. But somehow, patience and process are two things that going along through the same linear. You know.. intinya harus sabar lah dalam mewujudkan sebuah impian. Klise? Emang. Tapi banyak orang yang selalu lupa dengan hukum alam yang satu ini. Ada perjuangan maka ada pengorbanan. dan ketika keduanya udah dilakukan, hasil pun akan didapat. memuaskan ato mengecewakan, itu mah masalah lain.. yang penting ada keberanian dan upaya dulu untuk ngewujudinnya.
Gue kadang keteteran juga ngadepin ego diri yang kadang nggak bisa kompromi dan terlalu egois menguasai pikiran. Tapi untungnya gue punya motivasi yang kuat buat ngewujudin semua yang gue impikan. Nggak semua sih, cuman saat ini adalah satu yang jadi target hidup gue: Jadi penulis baik yang produktif dengan karya yang tidak cheesy dan pasaran. And the biggest challange to fulfill the target is.. my self. My mood. Yeah. Untuk menggerakan jari menambah halaman novel, kadang memerlukan usaha ekstra super keras karena malas lebih berkuasa ketimbang drive untuk berkarya. Itu gue rasain beberapa minggu yang lalu, sebelum gue menyelesaikan novel Pre Wedding gue ke gramedia. Fyuh.. But thanks God akhirnya bisa selesai juga. Lega rasanya akhirnya gue bisa fokus dalam menyelesaikan sesuatu yang gue mulai. Total perjuangan empat bulan akhirnya kebayar sudah. Tanpa bermaksud untuk jadi seorang yang gampang puas, gue ngerasa sangat puas. To me, this is the biggest achievement in my life, like, ever.
Dan akhirnya sekarang gue sadar bahwa hardwork dan consistency sangat dibutuhkan untuk mewujudkan suatu hasil.
Dan sekarang gue siap untuk menghasilkan karya-karya selanjutnya, mengejawantahkan buah pemikiran yang udah cukup lama ngendon di hard disc laptop, membebaskannya dari penjara pengap untuk berkeliaran bebas di setiap ruang imajinasi orang-orang yang akan membaca karya-karya gue. Tumbuh dan dinikmati, dinilai, dan diberi penghargaan. Meski suatu saat pasti akan ada pihak yang kontra dengan karya-karya gue, gue udah siap. Setiap hal selalu mempunyai dua sisi, dan gue nggak bisa mengharapkan semua orang menyukai karya gue. Udah bisa terbit pun udah cukup buat gue. Dan ketika mendapatkan respon yang bagus? itu bisa jadi sebuah bonus. Bonus yang sangat menggiurkan. hehehe....

Now I (almost) officially become an author. Yes. Any time soon...

Sunday, July 4, 2010

Gue memperhatikan perkembangan komunikasi antar manusia akhir-akhir ini. bener-bener tergantung pada teknologi dan sangat kekurangan sentuhan personal.
Jadi, beberapa bulan lalu ketika gue masih pakek bb, hampir tiap hari selallu aja ada bbm yang masuk. entah itu nanyain lagi ngapain, sekedar curhat, ato apadeh yang biasanya terjadi ketika komunikasi via bb. Nah.. setelah gue ganti gadget dengan Hp yang tidak bisa ber BBM ria, kini rutinitas itu seolah ngilang gitu aja. Jadi temen2 gue yang biasanya rutin nyapa, nanya, ngajak chit chat dll kini berkurang drastis. Bahkan semenjak terakhir gunain bb, sampe sekarang nggak pernah sms!

Dan akhirnya gue pun sampai pada sebuah kesimpulan bahwa... ternyata dengan bb bisa meningkatkan komunikasi antar individu. mengada-ada kah? kan komunikasi lewat sms or telpon pun bisa..? Oke. Kayaknya bahasannya mulai melebar. Jadi fokus dari tulisan ini adalah, ketika keinginan untuk membuka komunikasi dengan seseorang terpengaruh oleh bb. yup, bb. gue dengan spesifik menekankan, karena emang kenyataannya (beberapa) temen-temen gue ternyata memang tergantung pada bb untuk menghubungi gue. I mean, kalo emang berniat untuk berkomnunikasi, they still have my number. bisa sms, or telpon. lantas kenapa setelah gue nggak pegang bb, sekarang jadi berhenti komunikasi? things to be noted, bukan karena gue ngerasa di anggap outsider karena nggak punya bb ya! bukan sama sekali! cuman gue tertarik aja untuk membahas betapa bb telah mengambil alih porsi komunikasi kita. I mean, lucu aja gitu... karena adanya bbm, maka topik pembicaraan pun selaluuu ajah ada. bb amazingly has bonding people's emotion, like, literally.

Yaitu dia, merasa aneh aja. BBM seolah nggak bisa digantikan oleh sms or ym untuk berkomunikasi. jadi rasanya lebih enak dan menyenangkan aja kalo lewat bbm untuk ngobrol ngalor ngidul....

Kenapa yah? Dan ada kemungkinan nih, nanti beberapa taun mendatang, pengguna gadget komunikasi mayoritas menggunakan bb. tsk, tajir gila tuh pemegang saham. would you marry me, then? #PLAK!