Sepanjang jalan dalam deraan hujan, aku terus menerus mengulas senyum. Mungkin jika dihitung dengan jari, aku harus mencari manusia langka yang mempunyai buku jari lebih dari sepuluh. Atau bahkan mahluk selain manusia? Kaki kelabang mungkin baru bisa mewakilinya). Bulir-bulir air menerpa wajahku cukup pedas. Tarikkan mesin motor yang aku kendarai melawan arah jatuhnya hujan dengan sudut yang cukup tajam dan membuat hujaman air seperti serbuan seribu jarum. Tapi aku tetap tersenyum. Aku akan menemuinya sore ini. Pakaianku sudah seluruhnya basah. Dingin mulai menyusup sampai sumsum tulang belakang. Tapi cinta ini masih berupa bara, biar redup tapi masih mampu menghalau gigil. Sejuta selingkuh dan penghianatan tidak mampu membuatku surut mencintainya.. Apalagi hujan? Kedua-duanya berada dalam deretan hal yang paling aku kagumi di dunia ini.
Roda-roda kendaraan menggilas genangan air yang meluap dari comberan serta saluran pembuangan jalan dan menerpa wajahku. Entah kenapa malah membuatku merasa bahagia! Aku malah mengibaratkan diriku seperti air limbah itu, datang dari sebuah kemegahan langit untuk menjadi hina di lantai bumi, dengan tujuan menempuh perjalanan jarak dan waktu untuk kembali pada kemegahan berikutnya: Samudera.
Aku terus memacu sepeda motor melawan angin, membiarkanku larut dalam sensasi bahagia. Seperti anak Indian yang berlarian di lapangan luas, bertelanjang berjingkrakan menarikan do'a memuja hujan. Dalam benak, tanpa sengaja berputarlah sebuah film usang bernilai sejarah tinggi. Setidaknya diantara deretan film kenangan masa hidupku, rekaman saat-saat bersamanyalah yang tidak akan pernah bosan aku tonton.
Masa-masa yang bergelimang kehangatan mentari dan melimpahnya aroma rempah dari pundaknya ketika dia mencium keningku sebagai ucapan selamat pagi, deretan giginya yang rapih ketika tertawa lepas membicarakan kejadian konyol yang kami temui dalam menghabiskan siang hari, kemarahannya ketika aku lupa membawa handuk ketika mandi, peluk cium ketika kami akan berangkat menuju alam mimpi. Dan hampir di banyak malam, aku tidak pernah bosan memandangi sepasang matanya yang damai terpejam, berharap dengan was-was, adakah diriku didalamnya, bermain dengannya di taman mimpi? Aku juga teringat betapa hangatnya mendapatkan telpon dari dia, meski hanya sekedar untuk memarahi karena lupa mematikan lampu kamar mandi ketika aku pergi. Setidaknya kenangan-kenangan itu sangat sakti sehingga bisa menjadi asupan yang cukup besar untuk menutrisi jiwaku dalam menjalankan hari.
Ah, dua tahun ternyata begitu singkat. Namun aku berputar dalam poros waktu yang teramat lambat. Cinta ini sudah jadi karat, lebih parah lagi tenggelam didasar palung yang amat dalam. Air laut membantunya semakin akut. Sedangkan dia? Baginya masa lalu adalah sebuah ruangan yang bisa membuat orang menjadi super sentimentil. Maka jangan pernah berani memasukinya, karena masa depan menawarkan sesuatu yang lebih menyenangkan. Aku menjadi seorang idiot yang berbanding terbalik dengan dirinya yang teramat pintar memanipulasi siklus patah hati.
Mungkin dia tidak tahu, hal yang paling menyakitkan adalah ketika aku harus pergi dari sisinya. Kalau boleh jujur, aku benci saat dimana pagi datang dan rutinitas menjelang, menarikku dengan paksa dari selimutnya dan juga kesenangan melaksanakan sarapan bersamanya. Mungkin dia juga tidak tahu, damainya perasaan berada dibawah ketiaknya, atau sekedar tertidur dipangkuannya sembari mencemooh tayangan konyol di televisi. Dia juga pasti tidak tahu, ada relung hati yang masih kosong hingga saat ini, satu bagian yang belum tergenapi oleh sebuah kalimat sayang yang terucap serius dari bibirnya.
Terkutuklah waktu yang selalu membuatku tertoreh perih ketika harus melangkahkan kaki menciptakan jarak yang yang terus berlipat ganda dan akan membuatku semakin tersiksa. Aku ingin menoleh.. tapi percuma.. dia tidak akan pernah kembali. Aku berusaha untuk percaya.. namun mantranya teramat nista.
Aku mengibaskan pakaian basahku, berusaha untuk tidak mengotori ruangan kantornya. Aku mengetuk pintu tiga kali.
' Masuk..'
sebuah suara yang sangat aku kenal menyambut ketukanku. Aku melangkah masuk. Hatiku membuncah, menghayalkan sebuah pelukan hangat akan meredakan kerinduanku yang berbobot ribuan ton.
' Hai! kok lama?'
Aku tertegun. seorang laki-laki asing memandangiku dengan senyuman yang sangat manis.
' Oh hampir aja lupa! kenalin.. ini Lukman..'
Dia melanjutkan omongannya dengan menunjukkan laki-laki itu. Aku menyodorkan tangan. Mataku menatap sinyal cinta yang terpancar dari cara mereka saling memandang.
Leburlah aku dalam deburan ombak, serupa dinding karang yang setia diterjang, namun tidak ada satupun yang berkurang.
Ah, kapankah aku tersadar dari mimpi?
****
No comments:
Post a Comment
what do you think?